Cerpen Karangan: Ajeng Maharani
Lolos moderasi pada: 1 August 2015
Sepotong senja terperangkap sedih pada sepasang mata hitam yang telah uzur. Langit jingga keemasan itu pingsan seketika di balik rerimbun pepohonan kopi. Membuat hati si lelaki tua semakin tercabik sepi, menerobos rindu yang meradang, pada kisah dua cangkir kopi hitam kental dengan senja pukul lima sore. Duduk bersila di dalam gazebo, menatap lamat-lamat sang matahari, hingga dia menghilang ditelan bumi Dampit.
Dialah Ayahku, sang juragan kebun kopi di kota kami. Enampuluh lima tahun usianya. Namun garis-garis kelelakian yang tergurat pada binar tubuhnya masih kuat. Tidak renta dan rapuh seperti kebanyakan. Dia hidup dalam tempaan kelam, hingga datang sebuah cahaya hangat, menariknya bangkit untuk berjuang pada hidup.
Kuaduk perlahan dua cangkir kopi hitam yang mengepul. Tigapuluh adukan. Tidak akan lebih ataupun kurang. Sebentar senyumku terkembang, memandang sebuah gazebo tua di belakang rumah. Lelaki tua kesayanganku sudah duduk di sana menanti anak gadisnya, membawa nampan dan menghidangkan cangkir-cangkir kopi ini di sampingnya.
Ah, sudahlah. Ayah telah menungguku. Tak pantas jika kubuat dia semakin tenggelam dalam sepi.
“Menunggu lama ya, Yah? Maaf, Ranti keasyikan melamun tadi.” Kulempar senyum padanya, lalu segera duduk di samping kiri.
Ayah melingkarkan tangan pada pundakku, menepuknya pelan penuh kasih. Dan dengan keheningan sore, kami terdiam sepersekian waktu, untuk menikmati langit yang mulai menarikan tarian keemasan.
“Tak terasa ya sudah limabelas tahun berlalu, dan keindahan senja tidak pernah berubah sedikitpun. Kenangan akan Bunda pun masih segar di pikiran Ayah,” suara Ayah memecah sepi.
Aku hanya terdiam sendu. Tidak bisa mengerti bagaimana arti sebuah kenangan itu. Bukan karena apa, tetapi saat Bunda meninggal, aku baru berumur tiga tahun. Memori otak sudah memudar tergerus waktu. Tidak ingat bagaimana dahulu kulalui hari bersama Bunda.
Yang membuat hatiku tersentuh haru hanya sebuah keteguhan yang masih dijamah oleh Ayah. Cintanya kepada sang istri masih begitu kuat. Tidak menguap sedikitpun. Masih berbinar cerah. Masih mengharum semerbak. Dan masih seindah warna senja di perkebunan kopi.
“Bundamu itu seorang malaikat berupa manusia. Jika bukan karena dirinya, tidak mungkin Ayah yang dulu sebuah sampah di jalanan, bisa seperti ini,” Ayah menghentikan kalimatnya sebentar untuk menghela nafas. Lalu melanjut dengan berbisik, “dia itu berlian, dan Ayah yang membuat kilaunya meredup karena cinta.”
Mata Ayah mulai berkaca-kaca. Selalu saja seperti itu, setiap kali sebuah penyesalan menggelitik ingatannya.
Cerita tentang Bunda sudah sering kudengar, setiap hari, sama seperti saat ini. Hingga bayang-bayang mereka berdua melekat begitu erat pada imajiku.
“Ayah itu miskin, hidup terlunta di jalanan. Kerjanya ngamen, mabuk, nyopet dan dikejar-kejar orang. Lalu datanglah dia, gadis berkerudung yang menjadi salah satu relawan dari sebuah lembaga sosial, mengajar anak-anak jalanan yang putus sekolah di kampung Banar. Sungguh sejuk hati ayah saat melihat sosoknya. Anggun, berwibawa, selalu tersenyum dan tidak jijik pada kami.”
Ayah mengangkat lengannya, bangga memamerkan tato-tato tua yang terukir dari ujung hingga pangkal. “Nih, lihatkan tato Ayah. Semua takut pada ini, wong Ayah ini ketua geng di sana. Tetapi, gadis itu tidak. Dia malah semakin mendekat. Dengan kegigihannya, mengajak Ayah sholat. Cih, waktu itu aku sering marah sama dia, Ranti. Tapi, dimarahi model bagaimanapun, dia bergeming. Tidak menyerah sedikitpun.”
“Ayah..” Aku tersenyum melihat binar wajah Ayah bersemu merah. Dia selalu tampak bahagia setiap kali jatuh pada bagian alur kisahnya yang ini.
“Suatu hari, kulamar gadis itu. Ayah benar-benar jatuh cinta, sudah mantap di hati. Dia bersedia, tetapi dengan syarat, Ayah harus mau belajar sholat dan mengaji. Wah, kala itu, aku ditertawakan rekan-rekan sesama preman. Malu sebenarnya, tetapi cinta sudah membuka hati perlahan-lahan. Hari-har